Betiklampung.com, Jakarta –
Tembakau dan cengkeh merupakan salah satu komoditas unggulan yang perkembangannya telah menjadi sejarah bangsa dan budaya, warisan nenek moyang yang mengakar secara turun temurun. Untuk mengenalkan dua komoditas ini pada generasi muda, Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) menginisiasi dilaksanakannya Friends With Bako (FWB) yang berlangsung di Gedung Azwaja, Jakarta, Kamis, (17/03).
Diskusi interaktif tersebut diikuti oleh puluhan mahasiswa asal Jakarta dan Bogor yang antusias ingin memahami sejarah dan proyeksi industri serta pertumbuhan ekonomi kedua varietas ini. Ketua Umum AMTI Budidoyo mengapresiasi para mahasiswa yang ingin mendapatkan pengalaman belajar di luar ruang kampus. Apalagi melihat bahwa mahasiswa yang berpartisipasi daalam diskusi ini berasal dari lintas fakultas.
“Tembakau dan cengkeh juga pernah mengalami momen keemasannya. Lewat diskusi interaktif ini, semoga para mahasiswa bisa belajar histori dan turut ambil peran atau memberi sumbangsih ilmu untuk melihat bagaimana tren pertumbuhan kedua komoditas ini ke depan,”katanya.
Para mahasiswa aktif melontarkan pertanyaan – pertanyaan seputar pertanian cengkeh dan tembakau, prose pengolahan hingga ekspor cengkeh dan tembakau ditujukan kepada ketiga narasumber yaitu Ismet Ali sebagai ahli agrobisnis tembakau, Ariani Djalal dan Lukman Basri dari Dewan Rempah Indonesia.
Dalam paparannya, Ismet Ali menjelaskan, bahwa tembakau yang dikenal sebagai daun emas dianggap sebagai tanaman kontroversial negeri ini. Pro dan kontra tersebut tidak terlepas dengan bidang kesehatan, ekonomi, hingga sosial budaya.
“Pro kontra tersebut sebenarnya tidak perlu. Sebaliknya yang perlu kita yakini bahwa semua tanaman dan makhluk hidup itu memiliki manfaat bagi kesejahteraan manusia. Yang terpenting adalah bagaimana tembakau bisa tetap tumbuh subur di negeri ini dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat dan negara,” sebut Ismet Ali.
Pertanian tembakau, kata Ismet Ali, sebagai hulu dari mata rantai industri hasil tembakau (IHT) membutuhkan pendampingan kemitraan agar produktivitas maksimal. Para petani tembakau selama ini mengalami banyak keterbatasan dan tantangan, mulai dari bahan baku, alat produksi, cuaca hingga akses permodalan.
Pemerintah khususnya perlu memberikan pendampingan pada para petani tembakau dengan pendekatan saintifik, melibatkan teknologi, metode, dan sumber daya sehingga produk akhirnya (tembakau itu sendiri) memenuhi syarat kuantitas dan kualitas layak konsumsi.
“Setiap masalah yang kita hadapi dalam agrobisnis tembakau dengan metode dengan scientific approach, mencakup: tahapan tobacco agrobinisnis best practise, kimiawi tembakau (nicotine elements), prosesing (pengolahan tembakau) hingga panen produk akhir,”Ismet menekankan.
Tak hanya tembakau, cengkeh yang dikenal sebagai emas hitam, merupakan komoditi andalan negara ini sejak era Kerajaan Majapahit dan Kesultanan. Dewan Rempah Indonesia menginisiasi, momentum ekspor perdana rempah 11 Desember 1521, mengusulkan agar diperingati menjadi Hari Rempah Nasional sebagai tonggak sejarah perjalanan ekspor rempah Nusantara ke pasar dunia.
“Indonesia saat ini memiliki 4.000 varian rempah namun baru 10 persen nya yang bisa kita manfaatkan. Di sisi lain negeri kita juga masih terbatas dalam riset dan pengembangan bisnis rempah seperti cengkeh dan tembakau. Berdasarkan data, secara relatif setiap tahun ekspor rempah semakin meredup. Ini yang menjadi tantangan industri rempah yang kita hadapi,” papar Ariani.
Selain itu, ujar Ariani, terjadi penurunan kuantitatif dan kualitstif varian rempah kita karena stabilitas harga yang juga merugikan pelaku usaha. Pemerintah, dalam hal ini Direktorat Jenderal Perkebunan secara bertahap berupaya untuk meningkatkan kembali peranan perkebunan. Target peningkatan produksi dan ekspor rempah secara nasional dalam empat tahun ke depan (2021-2024) yang meliputi cengkeh, lada, pala, vanilli dan kayumanis.
Adapun target untuk meningkatkan pertumbuhan ekspor mencapai 300 % yang dilakukan dengan program GRATIEKS (Gerakan Mencapai Tiga Kali Ekspor) dari SubSektor Perkebunan melakukan elobarasi menjadi GRASIDA (Gerakan Peningkatan Produksi, Nilai Tambah, dan Daya Saing).
Untuk diketahui, produksi cengkeh tahun 2021 produksi sebesar 126, 3 ribu ton dan tahun 2024 ditargetkan meningkat menjadi 132,1 ribu ton. Sementara itu, volume ekspor pada tahun 2021 nilainya 31,3 ribu ton dan tahun 2024, ditarget meningkat menjadi 60, 6 ribu ton.
“Harus diakui, cengkeh sebagai rempah kita menjadi tantangan. Kurang memenuhi syarat keamanan pangan. Akibatnya harga jatuh, di bawah nilai keekonomian. Memang kita akui syarat itu cukup baik, tetapi tentunya secara teknis perlu perundingan Uni Eropa-Indonesia dalam pola kemitraan yang saling menguntungkan.
Tak bisa dipungkiri, produsen rempah kita, relatif buta pasar, setidaknya kurang sosialisasinya aneka regulasi EU yang berlaku,”tambah Lukman Basri, anggota Dewan Rempah Indonesia. (*)